Batam dalam Konstelasi Provinsi Kepulauan Riau
Memasuki dekade ke-empat pembangunan, Batam telah berkembang
pesat menjadi sentra kawasan industri, perdagangan, alih kapal serta pariwisata
yang terkemuka di tanah air. Letak geografis yang strategis, serangkaian
kebijakan khusus dari pemerintah pusat serta tentunya dukungan penuh dari
segenap masyarakat, memang tak dipungkiri menjadikan perkembangan pembangunan
di wilayah ini bergerak lebih dinamis dibanding dengan wilayah lain di
Indonesia.
Batam memiliki peran penting dan diakui bahwa secara
ekonomis merupakan pendorong bagi percepatan pembentukan Provinsi Kepulauan
Riau. Ketika provinsi ini telah terbentuk dan kini memasuki tahap
pembangunannya, peran Batam bersama Rempang dan Galang, menjadi makin penting.
Tidak saja dari segi ekonomi, tapi juga dari prespektif sosial dan politik.
Meski secara phisik, Batam bukanlah ibukota provinsi atau sentra administrasi
pemerintahan.
Mengingat akan hal itu, sudah sepatutnya fungsi dan
kedudukan Batam ditentukan dalam rencana struktur tata ruang Provinsi Kepulauan
Riau, berkoneksi dengan penentuan fungsi dan kedudukan wilayah kota dan
kabupaten lain yang masuk dalam wilayah provinsi ini. Dalam struktur tata ruang
itu, fungsi Batam sebagai kota industri, perdagangan, alih kapal serta sentra
pariwisata tetap dipertahankan. Sembari itu, pemerintah provinsi harus terus
berupaya mendorong peningkatan daya saing Batam, melalui berbagai upaya seperti
penciptaan iklim usaha yang sehat, penegakkan hukum yang transparan serta
maksimalisasi pelayanan kepada para investor. Penerapan FTZ di wilayah Batam,
Bintan dan Karimun (BBK), juga merupakan upaya nyata untuk pemerataan
pembangunan yang berkesinambungan.
Perlu disadari, penguatan fungsi dan kedudukan Batam ini
pada hakekatnya ditujukan bagi upaya mendorong percepatan pertumbuhan
pembangunan di kota dan kabupaten lain dalam lingkup Provinsi Kepri. Adalah
tidak mungkin membiarkan sentralisasi kekuatan ekonomi, politik serta sosial,
bertumpu pada Batam semata. Konsekwensinya terlalu besar dan hanya akan membawa
Batam menjadi the primate city. Kota makan kota. Penerapan fungsi utama
kabupaten dan kota di Provinsi Kepulauan Riau ini diibaratkan rumah besar yang
masing-masing memiliki fungsi tersendiri seperti ruang tamu, ruang tidur, ruang
makan, keluarga, dapur, termasuk gudang sekalipun.

Untuk memformulasikan struktur tata ruang Provinsi Kepri
yang secara geografis memiliki wilayah laut yang lebih luas ketimbang daratan,
memang diperlukan konsep serta kajian tepat. Karakteristik serta geografis
wilayah, diletakkan pada tempatnya. Keunggulan kompetitif dari masing-masing
daerah mesti didorong untuk saling bersinergi untuk mempercepat pertumbuhan
ekonomi kawasan. Satu wilayah dengan wilayah yang lain, tidak bisa saling
mensubstitusi (saling menghilangkan), tetapi mutlak berkomplementer (saling
membutuhkan).
Dalam konteks ini, Batam yang sejak awal di-set menjadi
kawasan khusus, telah mengejawantahkan konsep pembangunan kota yang tidak
‘rakus fungsi.’ Skenario pembangunannya mendasarkan diri kepada teori trickle
down efect. Yakni pengembangan kawasan Batam-Rempang-Galang, akan mengimbas ke
kawasan atau wilayah lain. Hal ini sesuai benar dengan visi Barelang yakni
menjadi salah satu lokomotif pembangunan nasional yang memberikan manfaat
kesejahteraan bagi kawasan di sekitarnya, serta merupakan pusat pertumbuhan
ekonomi regional.
Visi Batam 2030
Visi menjadikan Batam sebagai bandar (kota) dunia madani
sejatinya sebuah cita-cita yang bermartabat sekaligus mulia. Namun perlu
digarisbawahi bahwa menuju Batam menjadi suatu bandar madani hendaknya tidak
berangkat dari sikap latah, sekedar mencontoh kota-kota lain di luar negeri.
Secara fakta, jarang modernisasi yang sejalan dengan madani.
Yang sangat mungkin diwujudkan adalah bagaimana menciptakan Batam sebagai kota
yang nyaman untuk semua orang. Ruang publik, sarana transportasi untuk
mobilitas penduduknya tersedia lengkap dan memadai, pemukiman serta tempat
ibadah tertata rapi, keamanan terjaga, dll.
Visi Batam 2030 merupakan sesuatu hal urgen yang harus segera
diformulasikan bersama oleh para stake holder. Apalagi Materplan Batam 25 tahun
yang pertama yang disusun Otorita Batam tahun 1978, telah berakhir sejak tahun
2004 lalu. Masterplan Batam jilid II itu kelak akan bernilai strategis dan
menentukan arah pembangunan Batam untuk jangka waktu 25 tahun mendatang.
Akan hal itu, BJ Habibie sebagai Ketua Otorita Batam periode
1978-1998, menjabarkan pemikiran bahwa visi Batam di masa depan Batam, tidak
hanya bertumpu pada penguatan industri, perdagangan, alih kapal serta
pariwisata. Lebih dari itu, Batam juga harus menjadi pusat keunggulan
perbankan, kesehatan, pengangkutan kapal kontainer, perbaikan kapal laut dan
pesawat terbang termasuk outsourcing nasional dan global.
Dengan memperhatikan tren pertumbuhan seperti sekarang ini,
banyak indikator yang dapat dijadikan acuan dalam menyusun Visi Batam 2030.
Satu di antaranya adalah mengenai penduduk. Pada awal pengembangan Batam,
Otorita Batam memprediksi penduduk Batam pada tahun 2004 berkisar 700.000 jiwa.
Ternyata, menginjak tahun 2004, jumlah itu mendekati kebenaran. Bagaimana
dengan tahun 2020, 2025 atau 2030?
Banyak teori yang dapat dijadikan acuan untuk memproyeksi
pertumbuhan penduduk tersebut. Tapi biarlah para ahli demografi yang
menghitungnya lebih teliti. Bagi masyarakat awam, cukup kiranya dengan
berandai-andai yakni dengan pertumbuhan rata-rata sebesar 5% saja per tahun,
penduduk Batam pada tahun 2030 akan menyentuh angka 2 hingga 2,5 juta jiwa.
Setara dengan jumlah penduduk Singapura (pada akhir abad 20) atau akhir tahun
1990-an. Jumlah yang cukup besar untuk ukuran wilayah yang hanya sebesar Pulau
Batam ini. Ini artinya, kelak Batam bakal menjadi kota ‘pulau’ terbesar di
tanah air.
Tingginya jumlah penduduk Batam tersebut, suka tidak suka
menghadapkan Batam pada berbagai persoalan yang menuntut antisipasi sejak dini.
Satu di antaranya adalah pemukiman. Dengan penduduk yang menyentuh angka dua
juta jiwa, pemukiman menjadi persoalan yang pelik. Itu lantaran lahan yang
dimiliki Batam sangat terbatas.
Akan hal ini, sejak awal Otorita Batam bersama Pemerintah Kota
telah menggagas serta mendorong para pengusaha untuk mengembangkan kawasan
pemukiman dengan konsep vertikal. Berbagai insentif telah diberikan seperti
pengurangan tarif UWTO terhadap lahan yang akan dibangun. Namun upaya ini belum
dapat teraplikasi maksimal karena kalangan pengusaha menganggap secara bisnis,
membangun pemukiman vertikal kurang menguntungkan. Akibatnya bisa ditebak,
konsentrasi mereka lebih tersedot untuk membangun pemukiman berkonsep
horizontal.
Dilema lain yang muncul akibat tingginya jumlah penduduk
adalah kemacetan lalu lintas. Oleh karenanya, sejak sekarang, para pengambil
kebijakan harus segera menyusun grand design sarana dan prasarana transportasi
Batam. Untuk jangka pendek, kemacetan di berbagai titik dapat diatasi dengan
perluasan areal jalan, pembangunan under pass hingga flyover. Namun solusi itu
harus dibarengi dengan penerapan kebijakan yang ‘berani.’ Seperti penghentian
kebijakan untuk mendatangkan kendaraan bekas, perlindungan/pembatasan terhadap
ijin trayek hingga larangan operasi bagi taksi plat hitam.
Pembangunan under pass di Pelita yang membelah jalur
Seraya-Baloi atau sebaliknya ini, telah dirancang sejak lama dan merupakan
bagian dari rencana jangka panjang Otorita Batam. Mulai dioperasikan sejak
akhir tahun 2007, under pass Pelita dibangun sebagai jawaban untuk mengatasi
penumpukan kendaraan di jalur Pelita menuju ke Seipanas atau sebaliknya. Untuk
masa mendatang, masih diperlukan lagi beberapa under pass bahkan fly over
antara lain di Simpang BNI (underpass) serta fly over di Simpang Baloi.
Penambahan areal jalan arteri juga telah dilakukan Otorita
Batam dengan membangun jalan pesisir pantai yang menghubungkan Bengkong-Batam
Center- Bandara. Jalur ini kini tengah dalam tahap pembangunan dan diperkirakan
selesai dalam beberapa tahun ke depan. Bila rampung, jalur pesisir pantai ini
diharapkan dapat mengalihkan penumpukan konsentrasi kendaraan yang selama ini
melintas di jalan arteri Nongsa-Batam Center-Bandara.
Sementara itu, di satu sisi, dengan keterbatasan jalan dan
sarana transportasi yang memadai, pemerintah Kota bersama dengan Otorita Batam
harus sudah mulai mewujudkan pengoperasian mass rapid transit (MRT). Penambahan
armada taksi dan bus, seperti yang dilakukan selama ini, pada hakekatnya
merupakan solusi yang sifatnya jangka pendek, parsial dan belum mampu
menyelesaikan secara tuntas permasalahan transportasi di Batam.
Karena bagaimanapun, kini, MRT atau alat transportasi massal
sejenisnya, merupakan jawaban sekaligus solusi terbaik untuk mengatasi masalah
transportasi darat. Di banyak negara, sistem tersebut sudah terbukti aplikatif
dijalankan.
Sekedar menyontoh, pada tahun 1862, AS melalui Abraham
Lincoln, menerbitkan Pacific Railway Act, yang menghubungkan pantai Barat dan
Timur sepanjang 1.774 mil. Terbukti, jalur kereta yang dibangun itu hingga kini
tetap menjadi sarana transportasi andalan dan secara tidak langsung ikut
mendorong pencapaian California menjadi salah satu dari 10 kekuatan ekonomi
dunia.
Demikian halnya dengan Belanda. Sesuai dengan
kepentingannya, mereka memprioritaskan pembangunan jaringan KA di Pulau Jawa
dan menjadikannya sebagai transportasi utama untuk mobilitas barang dan orang.
Karena bagaimanapun, kapasitas angkut kereta bisa mencapai 40 hingga 70 ribu
orang per arah tiap jam, dibanding bus yang hanya 20 ribu orang.
Sejak tahun 1980-an, Otorita Batam sudah menggagas
pembangunan serta pengoperasian MRT di Batam. Dalam perencanaannya, pada tahap
awal, bakal dibangun rute Bandara Hang Nadim (Kabil)-Batam Center.
Rute ini tidak melewati jalan protokol, namun langsung
melewati pesisir pantai hingga tembus ke Batam Center. Meski study-nya sudah
dibuat, namun hingga kini, oleh karena berbagai sebab terutama finansial,
pengoperasian kereta listrik massal ini belum belum dapat diwujudkan.
Untuk transportasi laut, dalam beberapa tahun, bukan tidak
mungkin terjadi perubahan dan penyesuaian posisi Terminal Ferry Batam Center.
Pelabuhan internasional ini bisa saja bergeser lokasinya ke tengah laut. Ini
diakibatkan oleh aktifitas reklamasi pantai di sekitaran lokasi pelabuhan.
Gencarnya reklamasi itu menyebabkan pendangkalan dan penyempitan alur yang
selama ini jadi jalur utama lalu-lintas ferry dari dan menuju pelabuhan.
Pergeseran lokasi pelabuhan dan dermaga ini tidak serta
merta menghapus fungsi, justru makin menguatkan keberadaan pelabuhan baik dari
sisi geografis maupun ekonomis. Karena di lokasi yang baru, selain berfungsi
sebagai terminal ferry, di gedung yang sama dapat dibangun pusat bisnis seperti
shopping centre, restoran, café hingga tempat hiburan. Apalagi akses dari
resor, golf course serta hotel yang tersebar di sepanjang pesisir Nongsa,
menuju ke pelabuhan menjadi makin dekat, ditempuh hanya dalam hitungan menit.
Bentuk dan Struktur Kota Masa Depan
Dengan berbagai pertimbangan seperti diuraikan terdahulu,
terutama dilihat dari segi jumlah dan pertumbuhan penduduk dengan berbagai
macam kebutuhan pelayanannya, dikaitkan dengan kebutuhan ruang yang makin
terbatas, pada akhirnya akan berdampak luas pada bentuk dan struktur kota. Kota
pada dasarnya sebuah kota identik dengan organisme hidup, yang bisa tumbuh dan
berkembang, sakit bahkan bisa mati. Sakitnya kota antara lain ditandai dengan
kemacetan lalu lintas yang parah. Kemacetan lalu lintas ini bisa diibarat manusia
yang tersumbat pembuluh darahnya.
Untuk menghindarkan sakitnya sebuah kota alias hidup di
perkotaan yang penuh ketidaknyamanan, perlu beberapa kebijakan yang dirancang
sejak dini dengan menyusun Rencana Garis Besar Pengembangan (RGBP) untuk tahun
2030. RGBP ini kelak jadi pedoman dasar pembangunan yang pelaksanaannya
dilakukan tahap demi tahap. Elemen-elemen dalam RGBP itu di antaranya mencakup:
- Pemukiman. Untuk menampung atau mengakomodir jumlah
penduduk antara 2 hingga 2,5 juta jiwa, kalau dilihat kondisi perumahan di
Batam saat ini, maka dapat dipastikan sektor ini akan menyita seluruh lahan
yang tersedia. Sehingga ruang ruang terbuka sebagai paru-paru kota, tidak
memiliki area yang memadai. Karenanya, satu-satunya jalan untuk mengatasi masalah
ini adalah dengan membangun kawasan pemukiman berkonsep vertikal. Pembangunan
pemukiman vertical ini tidak bisa ditunda-tunda lagi mengingat pertumbuhan
penduduk yang disertai dengan kebutuhan perumahan, makin meningkat dari tahun
ke tahunnya. Sementara itu, persoalan pemenuhan kebutuhan ruang dapat
dilaksanakan dengan revitalisasi bagian kota, khususnya pemukiman.
- Transportasi dan Sirkulasi. Dengan pola pemilikan
kendaraan seperti yang kini dijalankan, maka dapat dibayangkan bahwa
transportasi di Batam yang pada tahun 2030 memiliki penduduk 2,5 juta jiwa,
akan sangat padat dan ruwet. Pada gilirannya kondisi ini berakibat pada
borosnya penggunaan bbm serta waktu yang terbuang percuma oleh penduduk Batam
karena kemacetan di jalan raya. Untuk itu pilihan moda angkutan umum masal
harus menjadi pilihan utama dengan moda angkutan berkapasitas banyak. Mass
Rapid Transit, mungkin belum perlu unsur rapid-nya untuk tahap awal, -karena
jarak tempuh antara titik satu dengan lainnya relatif pendek-,. Tapi yang lebih
penting adalah bagaimana, dalam sekali waktu, dapat mengangkut penumpang dalam
jumlah banyak. Dengan mass transport ini juga, kita bisa mem-by pass pelebaran
jalan, maupun membangun fly over dan underpass.
Untuk sirkulasi, sebagai cara perpindahan dari satu tempat
ke empat lain yang relatif sangat pendek, semisal dari rumah ke sekolah atau ke
tempat bekerja, seyogyanya dapat ditempuh dengan berjalan kaki atau sepeda.
Tapi ini tentunya harus didukung dengan fasilitas yang
nyaman untuk melaksanakan aktivitas tersebut. Seperti tersedianya pedestrian
yang lapang dan nyaman dengan pohon pelindung dan peneduh serta tersedianya
bicycle path atau jalur khusus sepeda. Ataupun pedestrian yang membuat orang
nyaman bergerak dari satu gedung ke gedung lainnya.
Khusus pedestrian ini, dalam beberapa dekade, terus menjadi
perhatian bagi para planner hinggá pemerhati mengenai tata kota. Seperti
tulisan Saptono Istiawan yang termaktub dalam Harian Kompas edisi 30 November
2007. Dalam artikelnya bertajuk “ Kapan Kita Perhatikan Pejalan Kaki,” Saptono
menyebut bahwa di kota-kota besar di Indonesia, cenderung dibangun seperti
bukan untuk pejalan kaki.
Ini menimbulkan kesan, semua dana yang ada hanya
diperuntukkan bagi kelancaran lalu lintas kendaraan bermotor. “Dalam sistem
transportasi suatu kota, yang paling penting ternyata adalah pejalan kaki,
sebab setiap permulaan dan akhir pencapaian selalu hanya bisa dilakukan dengan
berjalan kaki, awal dan akhir pergerakan dengan berjalan kaki.” Lebih jauh,
Saptono mengungkapkan, keberadaan jalur pejalan kaki mencerminkan sikap
pemerintah kota yang memberi kemudahan/respek bagi semua warganya tanpa pandang
bulu. “ Setidaknya pedestrian itu jelas akan meningkatkan kontak visual bagi
sesama warganya.”
Ilustrasi lainnya adalah Kota Bogota di Columbia, sebanyak
30 persen penduduknya yang berjumlah 6,5 juta jiwa, menggunakan sepeda dalam
melakukan aktivitas sehari-hari. Kota yang luasnya hampir setengah dari kota
Jakarta menyediakan prasarana jalur khusus sepeda sepanjang 350 km. Sedangkam
di Amsterdam, Belanda, jalur khusus sepeda yang dikombinasikan dengan jalur
trem (sebagai angkutan massalnya), merupakan pilihan yang telah dilakukan sejak
awal kotanya dibangun hingga sekarang. Sayangnya di Indonesia, sejalan dengan
perkembangan pertumbuhan kota, jalur tersebut malah dihilangkan. Contoh Jogya
atau Solo, dulu punya jalur lambat yang dipergunakan khusus untuk sepeda.


Energi, sebagai utilitas utama penduduk dalam melaksanakan
aktivitasnya perlu menjadi perhatian utama, dengan memilih energi alternatif
lain yang terbarukan. Sesuai dengan karakteristik wilayah kepulauan,
pengembangan pembangkit tenaga listrik dapat dimulai dengan mengembangkan
tenaga surya, gelombang ataupun angin. (Teknologinya sudah digunakan oleh
Negara-negara Eropa seperti halnya Wind Mollen, kincir angin).
Sementara itu, di tanah air sendiri,
penggunaan tenaga surya sebagai energi alternatif, sudah diterapkan di beberapa
tempat, sebagai jawaban atas krisis minyak bumi yang berbahan baku fosil. Dua
di antaranya diaplikasikan di Kelurahan Kameloh Baru, Kecamatan Sabanggu,
Palangkaraya, Kalimantan Tengah. Warga di wilayah itu sejak tahun 2007 telah
mendapat bantuan gratis pembangkit listrik tenaga surya dari pemerintah.
Di Pantai Parang Rucuk, Gunung Kidul, DIY, warga juga sudah
memanfaatkan sel surya dari tenaga matahari sebagai pembangkit listrik.
Panel-panel surya itu sudah dipasang warga sejak tahun 2005-(Kompas, 8 Mei
2008).
Sedangkan, penataan dan pengelompokkan satuan energi yang
berbasis pada small community dapat diefektifkan, terutama untuk pulau-pulau
kecil yang sulit dijangkau transportasi. Demikian halnya dengan penerangan umum
di jalan, traffic light bisa menggunakan tenaga surya karena daya yang
dibutuhkan tidak besar.
Pada akhirnya secara garis besar, dapat disimpulkan bahwa
untuk mencapai “Kota Nyaman Masa Depan,” atau Bandar Madani, dapat dirintis
dengan mendirikan bangunan vertikal yang didukung oleh sistem angkutan masal
(sebagai ciri kota-kota modern di dunia). Madani yang pada hakekatnya cerminan
dari kota berbudaya, harus dibangun dengan pendekatan budaya yang saling kait
mengkait antara penduduk yang satu dengan yang lainnya. Hal ini dapat dilakukan
dengan menciptakan sirkulasi inter dan intra, dalam suatu neighbourhood (small
community) dengan berjalan kaki atau sepeda yang kanan kirinya tersedia
taman-taman kota. Ini semua dilakukan untuk mendorong interaksi langsung antar
sesama anggota masyarakat. Konsep tersebut, pada dasarnya merupakan
pengejawantahan satu tatanan kota menuju apa yang disebut back to nature,
seperti yang dicanangkan pakar perncanaan kota masa lalu Ebenezer Howard dengan
garden city-nya.